KEJAWEN
“Permata” Asli Bumi Nusantara yang Selalu Dicurigai
Dan Dikambinghitamkan
Kearifan Lokal yang
Selalu Dicurigai
Ajaran kejawen, dalam perkembangan
sejarahnya mengalami pasang surut. Hal itu tidak lepas dari adanya
benturan-benturan dengan teologi dan budaya asing (Belanda, Arab, Cina, India,
Jepang, AS). Yang paling keras adalah benturan dengan teologi asing, karena
kehadiran kepercayaan baru disertai dengan upaya-upaya membangun kesan
bahwa budaya Jawa itu hina, memalukan, rendah martabatnya, bahkan kepercayaan
lokal disebut sebagai kekafiran, sehingga harus ditinggalkan sekalipun oleh
tuannya sendiri, dan harus diganti dengan “kepercayaan baru” yang dianggap paling
mulia segalanya. Dengan naifnya kepercayaan baru merekrut pengikut dengan
jaminan kepastian masuk syurga. Gerakan tersebut sangat efektif karena
dilakukan secara sistematis mendapat dukungan dari kekuatan politik asing yang
tengah bertarung di negeri ini.
Selain itu “pendatang baru” selalu
berusaha membangun image buruk terhadap kearifan-kearifan lokal (baca:
budaya Jawa) dengan cara memberikan contoh-contoh patologi sosial (penyakit
masyarakat), penyimpangan sosial, pelanggaran kaidah Kejawen, yang
terjadi saat itu, diklaim oleh “pendatang baru” sebagai bukti nyata kesesatan
ajaran Jawa.
Tidak berhenti disitu saja,
kekuatan asing terus mendiskreditkan manusia Jawa dengan cara memanipulasi atau
memutar balik sejarah masa lampau. Bukti-bukti kearifan lokal dimusnahkan,
sehingga banyak sekali naskah-naskah kuno yang berisi ajaran-ajaran tentang
tatakrama, kaidah, budi pekerti yang luhur bangsa (Jawa) Indonesia kuno sebelum
era kewalian datang, kemudian dibumi hanguskan oleh para “pendatang baru”
tersebut. Kosa kata Jawa juga mengalami penjajahan, istilah-istilah Jawa yang
dahulu mempunyai makna yang arif, luhur, bijaksana, kemudian dibelokkan
maknanya menurut kepentingan dan perspektif subyektif disesuaikan dengan
kepentingan “pendatang baru” yang tidak suka dengan “local wisdom”. Akibatnya;
istilah-istilah seperti; kejawen, klenik, mistis, tahyul mengalami
degradasi makna, dan berkonotasi negatif. Istilah-istilah tersebut
“di-sama-makna-kan” dengan dosa dan larangan-larangan dogma agama; misalnya;
kemusyrikan, gugon tuhon, budak setan, menyembah setan, dst.
Padahal tidak demikian makna aslinya, sebaliknya istilah tersebut justru
mempunyai arti yang sangat religius sbb;
Klenik : merupakan
pemahaman terhadap suatu kejadian yang dihubungkan dengan hukum sebab akibat
yang berkaitan dengan kekuatan gaib (metafisik) yang tidak lain bersumber dari
Dzat tertinggi yakni Tuhan Yang Maha Suci. Di dalam agama manapun unsur
“klenik” ini selalu ada.
Mistis : adalah
ruang atau wilayah gaib yang dapat dirambah dan dipahami manusia, sebagai
upayanya untuk memahami Tuhan Yang Maha Kuasa.
Tahyul : adalah
kepercayaan akan hal-hal yang gaib yang berhubungan dengan makhluk gaib ciptan
Tuhan. Manusia Jawa sangat mempercayai adanya kekuatan gaib yang
dipahaminya sebagai wujud dari kebesaran Tuhan Sang Maha Pencipta.
Kepercayaan kepada yang gaib ini juga terdapat di dalam rukun Islam.
Tradisi : dalam
tradisi Jawa, seseorang dapat mewujudkan doa dalam bentuk lambang atau
simbol. Lambang dan simbol dilengkapi dengan sarana ubo rampe sebagai
pelengkap kesempurnaan dalam berdoa. Lambang dan simbol juga mengartikan secara
kias bahasa alam yang dipercaya manusia Jawa sebagai bentuk isyarat akan
kehendak Tuhan. Manusia Jawa akan merasa lebih dekat dengan Tuhan jika doanya
tidak sekedar diucapkan di mulut saja (NATO: not action talk only), melainkan
dengan diwujudkan dalam bentuk tumpeng, sesaji dsb sebagi simbol kemanunggalan
tekad bulat. Maka manusia Jawa dalam berdoa melibatkan empat unsur
tekad bulat yakni hati, fikiran, ucapan, dan tindakan.
Upacara-upacara tradisional sebagai bentuk kepedulian pada lingkungannya, baik
kepada lingkungan masyarakat manusia maupun masyarakat gaib yang hidup
berdampingan, agar selaras dan harmonis dalam manembah kapada Tuhan.
Bagi manusia Jawa, setiap rasa syukur dan doa harus diwujudkan dalam bentuk
tindakan riil (ihtiyar) sebagai bentuk ketabahan dan kebulatan tekad yang
diyakini dapat membuat doa terkabul. Akan tetapi niat dan makna dibalik tradisi
ritual tersebut sering dianggap sebagai kegiatan gugon tuhon/ela-elu,
asal ngikut saja, sikap menghamburkan, dan bentuk kemubadiran, dst.
Kejawen :
berisi kaidah moral dan budi pekerti luhur, serta memuat tata cara manusia
dalam melakukan penyembahan tertinggi kepada Tuhan Yang Maha Tunggal. Akan
tetapi, setelah abad 15 Majapahit runtuh oleh serbuan anaknya sendiri, dengan
cara serampangan dan subyektif, jauh dari kearifan dan budi pekerti yg luhur,
“pendatang baru” menganggap ajaran kejawen sebagai biangnya kemusyrikan,
kesesatan, kebobrokan moral, dan kekafiran. Maka harus dimusnahkan.
Ironisnya, manusia Jawa yang sudah “kejawan” ilang jawane, justru
mempuyai andil besar dalam upaya cultural assasination ini. Mereka lupa
bahwa nilai budaya asli nenek moyang mereka itulah yang pernah membawa bumi
nusantara ini menggapai masa kejayaannya di era Majapahit hingga berlangsung
selama lima generasi penerus tahta kerajaan.
Ajaran Tentang Budi
Pekerti, Menggapai Manusia Sejati
Dalam khasanah referensi kebudayaan
Jawa dikenal berbagai literatur sastra yang mempunyai gaya penulisan beragam
dan unik. Sebut saja misalnya; kitab, suluk, serat, babad, yang biasanya
tidak hanya sekedar kumpulan baris-baris kalimat, tetapi ditulis dengan seni
kesusastraan yang tinggi, berupa tembang yang disusun dalam bait-bait
atau padha yang merupakan bagian dari tembang misalnya; pupuh, sinom,
pangkur, pucung, asmaradhana dst. Teks yang disusun ialah yang memiliki
kandungan unsur pesan moral, yang diajarkan tokoh-tokoh utama atau penulisnya,
mewarnai seluruh isi teks.
Pendidikan moral budi pekerti
menjadi pokok pelajaran yang diutamakan. Moral atau budi pekerti di sini dalam
arti kaidah-kaidah yang membedakan baik atau buruk segala sesuatu, tata
krama, atau aturan-aturan yang melarang atau menganjurkan seseorang dalam
menghadapi lingkungan alam dan sosialnya. Sumber dari kaidah-kaidah tersebut
didasari oleh keyakinan, gagasan, dan nilai-nilai yang berkembang di dalam
masyarakat yang bersangktan. Kaidah tersebut akan tampak dalam manifestasi
tingkah laku dan perbuatan anggota masyarakat.
Demikian lah makna dari ajaran
Kejawen yang sesungguhnya, dengan demikian dapat menambah jelas pemahaman
terhadap konsepsi pendidikan budi pekerti yang mewarnai kebudayaan Jawa. Hal
ini dapat diteruskan kepada generasi muda guna membentuk watak yang berbudi
luhur dan bersedia menempa jiwa yang berkepribadian teguh. Uraian yang
memaparkan nilai-nilai luhur dalam kebudayaan masyarakat Jawa yang diungkapkan
diatas dapat membuka wawasan pikir dan hati nurani bangsa bahwa dalam
masyarakat kuno asli pribumi telah terdapat seperangkat nilai-nilai moralitas
yang dapat diterapkan untuk mengangkat harkat dan martabat hidup manusia.
Dua Ancaman Besar
dalam Ajaran Kejawen
Dalam ajaran kejawen,
terdapat dua bentuk ancaman besar yang mendasari sikap kewaspadaan (eling
lan waspada), karena dapat menghancurkan kaidah-kaidah kemanusiaan, yakni; hawanepsu
dan pamrih. Manusia harus mampu meredam hawa nafsu atau nutupi babahan
hawa sanga. Yakni mengontrol nafsu-nafsunya yang muncul dari sembilan unsur
yang terdapat dalam diri manusia, dan melepas pamrihnya.
Dalam perspektif kaidah Jawa,
nafsu-nafsu merupakan perasaan kasar karena menggagalkan kontrol diri manusia,
membelenggu, serta buta pada dunia lahir maupun batin. Nafsu akan memperlemah
manusia karena menjadi sumber yang memboroskan kekuatan-kekuatan batin tanpa
ada gunanya. Lebih lanjut, menurut kaidah Jawa nafsu akan lebih berbahaya
karena mampu menutup akal budi. Sehingga manusia yang menuruti hawa nafsu tidak
lagi menuruti akal budinya (budi pekerti). Manusia demikian tidak dapat
mengembangkan segi-segi halusnya, manusia semakin mengancam lingkungannya,
menimbulkan konflik, ketegangan, dan merusak ketrentaman yang mengganggu stabilitas
kebangsaan
NAFSU
Hawa nafsu (lauwamah, amarah,
supiyah) secara kejawen diungkapkan dalam bentuk akronim, yakni apa yang
disebut M5 atau malima; madat, madon, maling, mangan, main;
mabuk-mabukan, main perempuan, mencuri, makan, berjudi. Untuk meredam nafsu malima,
manusia Jawa melakukan laku tapa atau “puasa”. Misalnya; tapa brata,
tapa ngrame, tapa mendhem, tapa ngeli.
Tapa brata ; sikap perbuatan seseorang yang
selalu menahan/puasa hawa nafsu yang berasal dari lima indra. Nafsu angkara
yang buruk yakni lauwamah, amarah, supiyah.
Tapa
ngrame; adalah watak untuk giat membantu,
menolong sesama tetapi “sepi” dalam nafsu pamrih yakni golek butuhe dewe.
Tapa
mendhem; adalah mengubur nafsu riak,
takabur, sombong, suka pamer, pamrih. Semua sifat buruk dikubur dalam-dalam,
termasuk “mengubur” amal kebaikan yang pernah kita lakukan kepada orang lain,
dari benak ingatan kita sendiri. Manusia suci adalah mereka yang tidak ingat
lagi apa saja amal kebaikan yang pernah dilakukan pada orang lain, sebaliknya
selalu ingat semua kejahatan yg pernah dilakukannya.
Tapa ngeli, yakni menghanyutkan diri ke dalam arus “aliran air sungai
Dzat”, yakni mengikuti kehendak Gusti Maha Wisesa. “Aliran air” milik Tuhan,
seumpama air sungai yang mengalir menyusuri sungai, mengikuti irama alam, lekuk
dan kelok sungai, yang merupakan wujud bahasa “kebijaksanaan” alam. Maka
manusia tersebut akan sampai pada muara samudra kabegjan atau
keberuntungan. Berbeda dengan “aliran air” bah, yang menuruti kehendak nafsu
akan berakhir celaka, karena air bah menerjang wewaler kaidah tata
krama, menghempas “perahu nelayan”, menerjang “pepohonan”, dan menghancurkan
“daratan”.
PAMRIH
Pamrih
merupakan ancaman ke dua bagi manusia. Bertindak karena pamrih berarti hanya
mengutamakan kepentingan diri pribadi secara egois. Pamrih, mengabaikan
kepentingan orang lain dan masyarakat. Secara sosiologis, pamrih itu
mengacaukan (chaos) karena tindakannya tidak menghiraukan keselarasan sosial
lingkungannya. Pamrih juga akan menghancurkan diri pribadi dari dalam,
kerana pamrih mengunggulkan secara mutlak keakuannya sendiri (istilahnya Freud;
ego). Karena itu, pamrih akan membatasi diri atau mengisolasi diri dari sumber
kekuatan batin. Dalam kaca mata Jawa, pamrih yang berasal dari nafsu ragawi akan
mengalahkan nafsu sukmani (mutmainah) yang suci. Pamrih mengutamakan
kepentingan-kepentingan duniawi, dengan demikian manusia mengikat dirinya
sendiri dengan dunia luar sehingga manusia tidak sanggup lagi untuk memusatkan
batin dalam dirinya sendiri. Oleh sebab itu pula, pamrih menjadi faktor
penghalang bagi seseorang untuk mencapai “kemanunggalan” kawula gusti.
Pamrih itu
seperti apa, tidak setiap orang mampu mengindentifikasi. Kadang orang dengan
mudah mengartikan pamrih itu, tetapi secara tidak sadar terjebak oleh
perspektif subyektif yang berangkat dari kepentingan dirinya sendiri untuk
melakukan pembenaran atas segala tindakannya. Untuk itu penting diketahui atau dimengerti bentuk-bentuk pamrih
yang dibagi dalam tiga bentuk nafsu dalam perspektif KEJAWEN :
- Nafsu selalu ingin menjadi orang pertama, yakni; nafsu golek menange dhewe; selalu ingin menangnya sendiri.
- Nafsu selalu menganggap dirinya selalu benar; nafsu golek benere dhewe.
- Nafsu selalu mementingkan kebutuhannya sendiri; nafsu golek butuhe dhewe. Kelakuan buruk seperti ini disebut juga sebagai aji mumpung. Misalnya mumpung berkuasa, lantas melakukan korupsi, tanpa peduli dengan nasib orang lain yang tertindas.
Untuk menjaga kaidah-kaidah manusia
supaya tetap teguh dalam menjaga kesucian raga dan jiwanya, dikenal di dalam
falsafah dan ajaran Jawa sebagai lakutama, perilaku hidup yang utama.
Sembah merupakan salah satu bentuk lakutama, sebagaimana di tulis oleh
pujangga masyhur (tahun 1811-1880-an) dan pengusaha sukses, yang sekaligus Ratu
Gung Binatara terkenal karena sakti mandraguna, yakni Gusti Mangkunegoro IV
dalam kitab Wedhatama (weda=perilaku, tama=utama) mengemukakan sistematika yang
runtut dan teratur dari yang rendah ke tingkatan tertinggi, yakni catur
sembah; sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, sembah rasa. Catur
sembah ini senada dengan nafsul mutmainah (ajaran Islam) yang digunakan
untuk meraih ma’rifatullah, nggayuh jumbuhing kawula Gusti. Apabila
seseorang dapat menjalani secara runtut catur sembah hingga mencapai sembah
yang paling tinggi, niscaya siapapun akan mendapatkan anugerah agung menjadi
manusia linuwih, atas berkat kemurahan Tuhan Yang Maha Kasih, tidak
tergantung apa agamanya.
HAKEKAT DIBALIK KEKUATAN DOA
Agar doa menjadi mustajab (tijab/makbul/kuat) dapat
kita lakukan suatu kiat tertentu. Penting untuk memahami bahwa doa sesungguhnya
bukan saja sekedar permohonan (verbal). Lebih dari itu, doa adalah usaha
yang nyata netepi rumus/kodrat/hukum Tuhan sebagaimana tanda-tandanya
tampak pula pada gejala kosmos. Permohonan kepada Tuhan dapat ditempuh dengan
lisan. Tetapi PALING PENTING adalah doa butuh penggabungan antara dimensi
batiniah dan lahiriah (laten dan manifesto) metafisik dan fisik. Doa akan
menjadi mustajab dan kuat bilamana doa kita berada pada aras hukum atau kodrat
Tuhan;
- Dalam berdoa seyogyanya menggabungkan 4 unsur dalam diri kita; meliputi; hati, pikiran, ucapan, tindakan. Dikatakan bahwa Tuhan berjanji akan mengabulkan setiap doa makhlukNya? tetapi mengapa orang sering merasa ada saja doa yang tidak terkabul ? Kita tidak perlu berprasangka buruk kepada Tuhan. Bila terjadi kegagalan dalam mewujudkan harapan, berarti ada yang salah dengan diri kita sendiri. Misalnya kita berdoa mohon kesehatan. Hati kita berniat agar jasmani-rohani selalu sehat. Doa juga diikrarkan terucap melalui lisan kita. Pikiran kita juga sudah memikirkan bagaimana caranya hidup yang sehat. Tetapi tindakan kita tidak sinkron, justru makan jerohan, makanan berkolesterol, dan makan secara berlebihan. Hal ini merupakan contoh doa yang tidak kompak dan tidak konsisten. Doa yang kuat dan mustajab harus konsisten dan kompak melibatkan empat unsur di atas. Yakni antara hati (niat), ucapan (statment), pikiran (planning), dan tindakan (action) jangan sampai terjadi kontradiktori. Sebab kekuatan doa yang paling ideal adalah doa yang diikuti dengan PERBUATAN (usaha) secara konkrit.
- Untuk hasil akhir, pasrahkan semuanya kepada “kehendak” Tuhan, tetapi ingat usaha mewujudkan doa merupakan tugas manusia. Berdoa harus dilakukan dengan kesadaran yang penuh, bahwa manusia bertugas mengoptimalkan prosedur dan usaha, soal hasil atau targetnya sesuai harapan atau tidak, biarkan itu menjadi kebijaksanaan dan kewenangan Tuhan. Dengan kata lain, tugas kita adalah berusaha maksimal, keputusan terakhir tetap ada di tangan Tuhan. Saat ini orang sering keliru mengkonsep doa. Asal sudah berdoa, lalu semuanya dipasrahkan kepada Tuhan. Bahkan cenderung berdoa hanya sebatas lisan saja. Selanjutnya doa dan harapan secara mutlak dipasrahkan pada Tuhan. Hal ini merupakan kesalahan besar dalam memahami doa karena terjebak oleh sikap fatalistis. Sikap fatalis menyebabkan kemalasan, perilaku tidak masuk akal dan mudah putus asa. Ujung-ujungnya Tuhan akan dikambinghitamkan, dengan menganggap bahwa kegagalan doanya memang sudah menjadi TAKDIR yang digariskan Tuhan. Lebih salah kaprah, bilamana dengan gegabah menganggap kegagalannya sebagai bentuk cobaan dari Tuhan (bagi orang yang beriman). Sebab kepasrahan itu artinya pasrah akan penentuan kualitas dan kuantitas hasil akhir. Yang namanya ikhtiar atau usaha tetap menjadi tugas dan tanggungjawab manusia.
- Berdoa jangan menuruti harapan dan keinginan diri sendiri, sebaliknya berdoa itu pada dasarnya menetapkan perilaku dan perbuatan kita ke dalam rumus (kodrat) Tuhan. Kesulitannya adalah mengetahui apakah doa atau harapan kita itu baik atau tidak untuk kita. Misalnya walaupun kita menganggap doa yang kita pintakan adalah baik. Namun kenyataannya kita juga tidak tahu persis, apakah kelak permintaan kita jika terlaksana akan membawa kebaikan atau sebaliknya membuat kita celaka.
- Berdoa secara spesifik dan detil dapat mengandung resiko. Misalnya doa agar supaya tender proyek jatuh ke tangan kita, atau berdoa agar kita terpilih menjadi Bupati. Padahal jika kita bener-bener menjadi Bupati tahun ini, di dalam struktur pemerintahan terdapat orang-orang berbahaya yang akan “menjebak” kita melakukan korupsi. Apa jadinya jika permohonan kita terwujud. Maka dalam berdoa sebaiknya menurut kehendak Tuhan, atau dalam terminologi Jawa “berdoa sesuai kodrat alam” atau hukum alamiah. Caranya, di dalam doa hanya memohon yang terbaik untuk diri kita. Sebagai contoh; ya Tuhan, andai saja proyek itu memberi kebaikan kepada diriku, keluargaku, dan orang-orang disekitarku, maka perkenankan proyek itu kepadaku, namun apabila tidak membawa berkah untuk ku, jauhkanlah. Dengan berdoa seperti itu, kita serahkan jalan cerita kehidupan ini kepada Gusti Allah, Tuhan Yang Maha Bijaksana.
- Doa yang ideal dan etis adalah doa yang tidak menyetir/mendikte Tuhan, doa yang tidak menuruti kemauan diri sendiri, doa yang pasrah kepada Sang Maha Pengatur. Niscaya Tuhan akan meletakkan diri kita pada rumus dan kodrat yang terbaik…untuk masing-masing orang ! Sayangnya, kita sering lupa bahwa doa kita adalah doa sok tahu, pasti baik buat kita, dan doa yang telah menyetir atau mendikte kehendak Tuhan. Dengan pola berdoa seperti ini, doa hanya akan menjadi nafsu belaka, yakni nuruti rahsaning karep.
DOA MERUPAKAN PROYEKSI PERBUATAN KITA,
AMAL KEBAIKAN KITA PADA SESAMA MENJADI DOA
TAK TERUCAP YANG MUSTAJAB.
Kalimat sederhana ini merupakan kata kunci
memahami misteri kekuatan doa; doa adalah seumpama cermin !!
Doa kita akan terkabul atau tidak tergantung dari amal kebaikan yang pernah
kita lakukan terhadap sesama. Dengan kata lain terkabul atau gagalnya doa-doa
kita merupakan cerminan akan amal kebaikan yang pernah kita lakukan pada orang
lain. Jika kita secara sadar atau tidak sering mencelakai orang lain maka doa
mohon keselamatan akan sia-sia. Sebaliknya, orang yang selalu menolong dan
membantu sesama, kebaikannya sudah menjadi “doa” sepanjang waktu, hidupnya
selalu mendapat kemudahan dan mendapat keselamatan. Kita gemar dan ikhlas
mendermakan harta kita untuk membantu orang-orang yang memang tepat untuk
dibantu. Selanjutnya cermati apa yang akan terjadi pada diri kita, rejeki
seperti tidak ada habisnya! Semakin banyak beramal, akan semakin banyak pula
rejeki kita. Bahkan sebelum kita mengucap doa, Tuhan sudah memenuhi apa-apa yang
kita harapkan. Itulah pertanda, bahwa perbuatan dan amal kebaikan kita pada
sesama, akan menjadi doa yang tak terucap, tetapi sungguh yang mustajab.
Ibarat sakti tanpa kesaktian. Kita berbuat baik pada orang lain, sesungguhnya
perbuatan itu seperti doa untuk kita sendiri.
Dalam tradisi spiritual Jawa terdapat suatu rumus misalnya :
1. Siapa gemar membantu dan menolong orang lain, maka ia akan selalu
mendapatkan kemudahan.
2. Siapa yang memiliki sikap welas asih pada sesama, maka ia akan disayang
sesama pula.
3. Siapa suka mencelakai sesama, maka hidupnya akan celaka.
4. Siapa suka meremehkan sesama maka ia akan diremehkan banyak orang.
5. Siapa gemar mencaci dan mengolok orang lain, maka ia akan menjadi orang
hina.
6. Siapa yang gemar menyalahkan orang lain, sesungguhnya ialah orang lemah.
7. Siapa menanam “pohon” kebaikan maka ia akan menuai buah kebaikan itu.
Semua itu merupakan contoh kecil, bahwa perbuatan yang kita lakukan
merupakan doa untuk kita sendiri. Doa ibarat cermin, yang akan menampakkan gambaran
asli atas apa yang kita lakukan. Sering kita saksikan orang-orang yang memiliki
kekuatan dalam berdoa, dan kekuatan itu terletak pada konsistensi dalam
perbuatannya. Selain itu, kekuatan doa ada pada ketulusan kita sendiri. Sekali
lagi ketulusan ini berkaitan erat dengan sikap netral dalam doa, artinya kita
tidak menyetir atau mendikte Tuhan.
Berikut ini merupakan “rumus” agar supaya kita lebih
cermat dalam mengevaluasi diri kita sendiri;
- Jangan pernah berharap-harap kita menerima (anugrah), apabila kita enggan dalam memberi.
- Jangan pernah berharap-harap akan selamat, apabila kita sering membuat orang lain celaka.
- Jangan pernah berharap-harap mendapat limpahan harta, apabila kita kurang peduli terhadap sesama.
- Jangan pernah berharap-harap mendapat keuntungan besar, apabila kita selalu menghitung untung rugi dalam bersedekah.
- Jangan pernah berharap-harap meraih hidup mulia, apabila kita gemar menghina sesama.
Lima “rumus” di atas hanya sebagian contoh. Silahkan para pembaca yang
budiman mengidentifikasi sendiri rumus-rumus selanjutnya, yang tentunya tiada
terbatas jumlahnya.
Resume
Doa akan memiliki kekuatan (mustajab), asalkan kita mampu memadukan empat
unsur di atas yakni : hati, ucapan, pikiran, dan perbuatan nyata. Dengan syarat
perbuatan kita tidak bertentangan dengan isi doa. Di lain sisi amal
kebaikan yang kita lakukan pada sesama akan menjadi doa mustajab sepanjang
waktu, hanya jika, kita melakukannya dengan ketulusan.
Setingkat dengan ketulusan kita di pagi hari saat “membuang ampas makanan” tak
berarti.
Rasa
bersyukur serta doa-doa melebur dan mewujud ke dalam satu perbuatan.
Rasa sukur termanifestasikan kedalam perbuatan yang bermanfaat untuk banyak
orang. Demikian pula cara berdoa tidak sekedar terucap melalui mulut, namun
lebih penting adalah mewujud dalam perbuatan nyata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar